Merajut Asa, Kisah, dan Mimpi

Dendam


Dendam
KARYA : FITRI AULIA RAMADHANI 


“oke, aku tunggu yah… bye mom…” Tania tersenyum senang, malamini adalah malam yang istimewa baginya.Ia akan mengadakan konser biolanya sendiri dan juga akan disaksikan oleh orang orangtuanya. Dia bahkan tidak dapat menahan dirinya agar tidak gugup.Setidaknya sekarang dia butuh ibunya disini.Menenangkannya dan menggenggam tangannya yang dingin dan gemetar.
Sepuluh menit… dua puluh menit… setengah jam… setiap detik bahkan berat baginya untuk menunggu dan ia sudah bertekad  takkan memulai konsernya tanpa ayah dan ibunya.
“mereka kemana yah?” katanya seraya meraih ponselnya dan menghubungi ayahnya. Raut wajah yang cemas tampak sangat jelas di wajahnya.
“tut…tut…” ah, tersambung! . Kok lama banget ya?
“halo?..” terdengar suara seorang lelaki paruh baya di seberang sana. Tapi itu bukan ayahnya.Ia bahkan dapat mendengar dengan jelas suara ambulans dan sirine polisi di seberang sana.
“halo? …” lelaki itu mengulang perkataannya.
Dengan bersusah payah akhirnya Tania bisa membuka mulutnya dan berbicara walaupun agak terbata-bata
“ha…halo?”
“iya… kelarga pak Rahman? begini …..” lelaki itu kemudian bercerita panjang lebar. Tania sendiri terpaku.Seakan-akan dunia baru saja terbalik.Telinganya hanya mampu memangkap beberapa kata, yang baginya sudah cukup untuk memperjelas dugaannya. Ayah dan ibunya, keduanya mengalami kecelakaan.
***
Tania hanya bisa menangis, tak mengeluarkan suara apapun selain suara tangis yang terdengar amat menyakitkan. Ia bahkan tak mampu berkata apa-apa ketika pengadilan memutuskan untuk memberi hukuman kepada orang yang merenggut nyawa ayah dan ibunya dengan hukuman yang ringan  Karena kecelakaan terjadi karena unsur ketidaksengajaan. Dan wanita itu juga merupakan korban.Tapi itu hanya berlaku di mata hukum dan tidak berlaku bagi Tania. Tidak! Seharusnya nyawa dibayar dengan nyawa! Batinnya. Tapi ia takkan bisa protes terhadap apapun. Ia hanya anak SMP yang belum mengerti arti hukum yang sebenarnya. Tapi bagi Tania  ini tidak adil, sangat tidak adil untuknya.
***
Tania membuka matanya dengan berat.Ia  begadang semalaman membantu tantenya. Ia harus melakukannya, setidaknya ia bisa membantu tantenya karena sejak orangtuanya meninggal, ia harus tinggal bersama tantenya itu.
“Tania? Kamu sudah bangun?” terdengar suara tantenya yang lembut dari balik pintu
“iya tan… tante lagi ngapain? Aku bantu yah?”
“ah, nggak usah. Kamu mandi aja. Kamu pasti kecapean kan? Kamu sih, bandel banget. Disruh tidur kok malah sibuk bantuin tante semalaman”
“ng…. Nggak apa-apa kok tante”
“ya udah, kamu mandi, sarapan, trus berangkat ke sekolah. Tante udah siapin semuanya”
“makasih tante” ujar Tania seraya meraih jepitan rambutnya dan berjalan dengan gontai ke arah kamar mandi
***
“hey, kamu! Kenapa lama sekali? Kayak siput aja…. Ayo, lari!”
Tania tersentak kaget. Tanpa disadari ia berjalan sambil melamun dan ternyata itu cukup membuat gurunya merasa geram.
“iya… iya pak…” Tania berlari sekencang-kencangnya dan melesat masuk ke sekolah.
Tania merasa pusing, tabungan orang tuanya sepertinya sudah tidak cukup untuk keperluannya sehari-hari. Sementara ia harus tetap les biola. Bagaimanapun itu adalah cara yang bisa dilakukan Tania untuk membanggakan orang tuanya di alam sana. Yaitu menjadi pemain biola terkenal seperti yang ayah dan ibunya inginkan.
“Ah…. Kenapa semuanya terasa sangat sulit?”Tania menggerutu sambil menaiki anak-anak tangga.
***
“yah… terlambat lagi. Bangunnya emang nunggu matahari yang bangunin?”
Tania yang tadinya tertunduk lesu kemudian mengangkat kepalanya dan tersenyum tipis kepada Dinda, sobat kentalnya yang ia kenal sejak masuk SMA.
“iya… semalem bantuin tante bikin kue-kue kering”
Tania menghela nafas panjang dan menjatuhkan badannya ke bangku kosong di sebelah dinda.
“eh… kamu nanyain tempat les biola yang murah kan? Aku udah dapet loh.” Seru Dinda
Wajah Tania langsung berubah menjadi cerah “seriusan?”
“iya lah…. Masa aku bohong”
“wahh….serius? trus..trus…Lesnya dimana?” kata Tania sambil mengguncang bahu Dinda beberapa kali.
“iya….Iya… bawel banget.Nanti aku cariin infonya.Tenang aja… udah ah, tuh. Bu Rani udah masuk”
***
Hari sudah mulai beranjak sore ketika Tania masih sibuk mecari alamat yang ada di secarik kertas.Rasanya dia sudah berkeliling sejak tadi.Dan hasilnya nihil.Ia bahkan tak melihat kemajuan sejauh ini.
“huuuaahh,,,, capek banget nih. Ini alamat palsu kali. Sampe ke ujung dunia pun kagak dapet”
Tania tertunduk lesu dan duduk di pinggir jalan. Tiba-tiba ia merasakan seseorang sedang memegang punggungnya dengan lembut. Tania sontak terkejut dan mengambil ancang-ancang untuk berlari.tetapi….
Tania tercenung, suasana seketika hening dan waktu serasa berhenti berputar. Wanita itu….
“cari tempat saya yah? Les biola kan? Maaf yah, rumah saya agak terpencil jadi susah ketemunya. Ayo ikut saya” ujar wanita paruh baya itu sambil menarik tangannya.
Tania hanya memandang wanita itu dengan tatapan penuh rasa amarah. Wanita itu…. Wanita itu yang merenggut kebahagiaannya dalam sekejap mata 2 tahun yang lalu. Tapi, kenapa harus dia?.
Tania berjalan mengikuti wanita itu dengan tatapan nanar dan kosong. Tanpa ia sadari kantung matanya mulai terasa penuh dengan air matanya. Tapi ia menahannya.Jangan sampai wanita itu curiga terhadapnya.
Tania marah, kesal. Tapi ia sendiri tidak tau harus bagaimana. Dia harus latihan biola bagaimanapun caranya, bagaimanapun situasinya.Ia harus kuat. Ia harus menahannya. Bagaimanapun ia harus menahannya.Orangtuanya lah satu-satunya alasan Tania melakukan ini. Tak ada jalan selain ini….
***
2 bulan.Dua bulan bukan waktu yang singkat.Dari situ Tania tau kalau wanita itu bernama Rahmi.Dan selama itu pula Tania memendam seluruh amarahnya. Dan batas kesabarannya itu sudah habis hari ini…
“Tania! Yang konsen dong! Kamu kenapa sih?Ada masalah dengan orangtua?”
Tania terdiam, orangtua?Tania bahkan sudah tak memiliki orang tua lagi.
“kok kamu diam? Tania!”
“nggak! Saya tidak memiliki masalah dengan siapapun!” tanpa Tania sadari suaranya meninggi.Ingatan tentang kedua orang tuanya kadang membuat emosinya tak terkendali.
“kok kamu jadi marah gitu?Emang kamu nggak diajarin sopan santun ama orangtua kamu?” emosi wanita itu juga mulai membuncah.
“ orangtua? Orangtua saya sudah meninggal!” Tania menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan keras lalu melanjutkan ucapannya“Dan semua itu karena anda!Dan apakah anda tau?Nyawa harus dibalas dengan nyawa!”Tania bahkan menatap mata wanita itu dengan tajam. Seakan-akan kobaran api dalam matanya akan meluap dan menghancurkan semuanya.
Rahmi terkejut.Seketika wajahnya berubah menjadi pucat pasi.Ia bahkan tidak mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Lidahnya seakan kelu.Nafasnya tercekat.Peristiwa 2 tahun yang lalu itu Kembali. Mungkinkah anak ini….
“ya! Saya anak dari sepasang suami istri yang telah anda bunuh itu nyonya yang terhormat!” Tania tahu apa yang difikirkan oleh rahmi. Raut wajah yang penuh tanya tampak sangat jelas di wajah guru les biolanya itu.
Tanpa menunggu lama Tania mengemasi semua barang-barangnya dan berlari secepat yang ia bisa. Berharap angin yang berhembus kencang dapat membawa separuh rasa sakit yang ia pikul. Tetapi wanita itu tidak menyerah, ia mengejar Tania hingga ke jalanan yang luas. Tapi Tania tidak peduli.Ia hanya melangkahkan kakinya dengan sekuat tenaga ke mana saja ia bisa. Hingga kemudian terdengar suara benturan yang sangat keras.
“Brakkk….!”
Tania menutup mata serapat mungkin.Ia berbalik dan medapati rahmi jatuh tersungkur di atas aspal. Darah mengalir deras dari tubuhnya.Tania bahkan tak mampu berkata apa-apa lagi.Ia mematung, seakan badannya terpaku di tempat itu. Seharusnya ia senang, wanita yang ia benci merasakan apa yang orantuanya rasakan juga. Tetapi yang terjadi malah sebaliknya, ia merasakan sukmanya terkoyak dan seakan mati.
***
Tania berjalan di lorong rumah sakit dengan sempoyongan. Seakan-akan tak tau dimana ia berada.Pikirannya tak tenang.Hatinya gelisah. Tapi, kenapa ia yang harus marasa cemas? Bukankah ini kesalahan wanita itu?Wanita itu sendiri yang mengejarnya. Tapi tetap saja…
“Tania!”
Tania sontak kaget.alisnya bertaut. Sepertinya dia mengenal suara ini.Ya! Tidak salah lagi.Ini suara Dinda. Tapi, apa yang dilakukan Dinda di sini?
“Hey, malah ngelamun…” Tania merasakan seseorang memegang pundaknya.Ia pun berbalik dan tersenyum.
“eh, Din, ngapain disini?” Tania berusaha sebaik mungkin untuk menyembunyikan perasaannya saat ini.Tapi tetap saja, rasa canggung itu masih ada.
“lagi jenguk mama….” Dinda menghembuskan nafas dengan keras.Ia menundukkan kepala dan membenamkan wajahnya di bahu Tania.Ia bahkan tidak dapat membendung air matanya. Ia menangis sesenggukan di bahu Tania yang sedang kebingungan. Ada apa dengan dinda? apakah sakit yang dialami mamanya segitu parahnya? Tania hanya bisa bertanya-tanya dalam hati.
***
Setelah cukup lama membiarkan Dinda menangis, akhirnya Tania mengajak dinda ke sebuah taman-taman kecil di rumah sakit.Mereka duduk di salah satu kursi panjang.Dan Dinda mulai menceritakan semua keluh kesahnya.
Tania mendengarkan dengan baik. Sesekali ia menggenggam tangan Dinda dengan erat agar dinda tidak menangis lagi. Ternyata mama Dinda mengalami kecelakaan tadi siang.Dan sekarang sedang kritis. Tunggu, bukankah itu hal yang sama? Wanita itu… mungkinkah ia mama Dinda? ah, tidak mungkin. Dunia ini tidak selebar daun kelor kan? Batinnya.
Untuk mengatasi rasa pernasarannya, Tania meminta Dinda untuk mengantarkannya ke kamar ibunya.Dan Dinda dengan agak ragu menunjukkan jalannya.Tapi, kenapa Dinda terlihat sangat khawatir? Adakah hal lain yang disembunyikannya?
Tania mengikuti Dinda dengan rasa pernasaran. Tetapi ada keanehan yang dapat ia tangkap. Bukankah ini jalan ke kamar guru les biolanya? Ah, tidak mungkin. Bisa saja kamarnya berseblahan.Tapi perkiraan Tania terpatahkan. Ternyata benar, Dinda berdiri di depan pintu kamar wanita itu. Membuka pintu, lalu mempersilahkan Tania masuk dengan kaki yang gemetar.
***
Dan di sinilah mereka, di kamar wanita yang Tania benci sekaligus ibu dari sahabatnya.
Mereka berdua duduk di sofa yang tak jauh dari ranjang Rahmi.Terlihat beberapa selang menempel di tubuhnya.Serta sebuah selang yang dihubungkan dengan tabung oksigen.Di dekatnya terdapat semacam layar yang menunjukkan denyut jantungya yang sepertinya kian melemah.
Tania diam seribu bahasa.Ia ingin berbicara, tetapi seakan-akan bibirnya terkunci dengan rapat.
“maafin aku Tan…” setelah cukup lama terdiam, akhirnya Dinda berbicara walaupun dengan nada yang agak serak. Ia bahkan tidak ingin memandang Tania untuk saat ini.
“maaf untuk apa?” Tania merasa kekecewaan sudah menjalar ke seluruh tubuhnya.
“ untuk semuanya Tan. Aku sudah tau semuanya dari awal.Tentang siapa kamu.Apa yang mamaku perbuat padamu 2 tahun yang lalu.Aku bahkan sengaja berteman denganmu.Tapi sungguh, aku tidak menyesal berteman denganmu.Malahan aku bersyukur.Dan soal les biola itu.Aku yang mengaturnya tanpa sepengetahuan mamaku. Aku hanya ingin kamu melupakan semua dendam dengan mamaku”
Tania tetap diam. Ia akhirnya tau alasan Dinda yang tidak pernah ingin memperkenalkannya dengan mamanya. Ia mengangguk, seakan memberi isyarat agar Dinda melajutkan ucapannya.
“dan soal kecelakaan itu…. Sebenarnya itu semua kesalahanku.” Dinda mengangkat wajahnya dan memberanikan diri menatap wajah Tania yang tampak kebingungan
“kesalahanmu?” akhirnya Tania mulai angkat bicara.
“Kenapa itu bisa menjadi kesalahanmu?sementara yang menyetir adalah mamamu. Sudahlah, Jangan menutupi kesalahannya lagi.Jangan menutupi semuanya dengan kebohongan” lanjutnya.
“sungguh! Ini bukan kebohongan! Untuk apa aku berbohong? Kau tau aku kan? Tidak mungkin aku berbohong untuk hal seserius ini?” ucap Dinda.
“lalu? Bagaimana itu bisa menjadi kesalahanmu?” Tania menatap mata Dinda dalam-dalam.
“mm… begini. Waktu itu aku bertengkar hebat dengan mamaku.Dan kemarahanku meledak hingga ibuku kaget dan tidak sengaja menyenggol mobil di sampingnya hingga mobil orangtuamu terbalik di jurang” Dinda menjelaskan semuanya dengan nada yang meyakinkan.
“lalu, kenapa mamamu tidak mengatakan yang sebenarnya di pengadilan?”
“karena aku yang melarangnya! Aku memohon agar ia tidak mengakuinya. Aku tidak ingin ibuku dipenjara karena kesalahanku.Dan ibuku juga merasa iba. Mana mungkin ia bisa meninggalkanku sementara ayahku sudah meninggal? Aku sebatang kara Tan…”
“deg….” Jantung Tania berdegup kencang. Kenapa ia bisa seegois ini? Bagaimana bisa?Ia harusnya merasa iba. Ini bukan kesalahan wanita itu.ia menyalahkan dirinya yang tak mau mendengar penjelasan wanita itu dan lebih memilih lari dari masalah dan menimbulkan semua kekacauan ini. Mengapa ia menjadi pendendam seperti ini? Rasa dendam telah mengotori jernihnya kebahagiaan dalam hatinya. Apa yang harus dia lakukan? Ia ingin wanita itu bangun dan ia ingin menghambur ke pelukannya. Tapi pada kenyataannya itu tidak akan terjadi. Hanya keajaiban yang mampu membangunkannya.Tapi menunggu keajaiban itu datang pun rasanya sangat sulit.
Tania memegang tangan Rahmi dan menggenggamnya dengan erat.Ia kemudian membisikkan sesuatu ke telinga wanita itu
“maafkan aku, aku tidak membencimu. Sungguh.Aku hanya merasa kecewa dengan meninggalnya orang tuaku.Tapi aku yang salah.Aku tidak pernah bersyukur.Setidaknya aku masih memiliki kerabat yang dapat menerimaku. Sementara Dinda? jika kau tidak ada, dia akan sebatang kara.”
Tania mengambil nafas dan menghembuskannya perlahan.
“anggapanku salah, ternyata nyawa tidak selamanya harus dibalas dengan nyawa. Tapi nyawa dapat dibalas dengan sebuah pengertian.Jika hanya ada dendam, Maka pertumpahan darah tidak aka nada habisnya.Kini aku mengerti itu.jadi tolong, bertahanlah…” air matanya perlahan jatuh dan membasahi pipinya.
Tak ada respon, sepertinya sudah tidak ada harapan lagi. Ketika ia ingin melepaskan genggaman tangannya, tangan Rahmi mengeratkan genggamannya. Tania terkejut.Ia melihat bulir air jatuh dari mata wanita itu. apakah ia menangis? Tania menghapus air matanya dan tersenyum. Wanita itu membuka matanya dan melihatnya.Jadi, dia mendengarkanku?Batinnya.
Sesegera mungkin ia berlari keluar dan memanggil dokter. Tetapi ketika ia kembali semuanya sudah terlambat. Wanita itu tidak lagi sadar dan terlihat garis lurus di layar di samping ranjang tempatnya berbaring.Ia meraih Dinda ke dalam pelukannya. Kemudian orang-orang berpakaian putih mulai masuk dan memenuhi ruangan itu.Tania membawa Dinda keluar dari ruangan.Dinda menangis sejadi-jadinya.Tania mempererat pelukannya.
“maafkan aku, aku yang menyebabkan mamamu seperti ini” bisik tania
“bukan, ini bukan salahmu. Aku yang salah dari awal.Kini aku harus menanggungnya. Tapi rasanya sulit hidup sebatang kara” ucap Dinda di sela-sela tangisnya
“lalu? Apa gunanya aku? Jangan khawatir.Aku ada di sini. Kau tidak akan hidup sebatang kara”
Tania berfikir setidaknya hanya ini yang bisa dilakukannya sebagai sahabat dan sebagai bentuk tanggung jawabnya.Dan ia harap Dinda mau menerimanya.
Dinda mengangkat kepalanya.Ia tersenyum seakan mengisyaratkan tanda terima kasih. Tania pun membalas senyumnya.
END

Click here for comments 0 komentar:

Terima kasih atas komentar Anda
Back to Top